Sabtu, 25 Januari 2014

Nol Persen (0%)

"Bertemu dengannya adalah anugerah
Mengenalnya ku jadikan itu sebuah hadiah
Berteman dengannya menjadi sangat susah
Saat menyayanginya menjadi kesempatan terindah"



Hari itu di festival band SMA se-Bogor, aku melihatnya bagaikan sebuah kapal karam yang tertinggal di tengah samudra. "Dandiiiii...Dandiiii...!!!" semua orang yang di dominasi cewek ini meneriakkan sebuah nama yang terasa mengganjal di telingaku. Itu bukan dia, dia lebih dari sekedar bintang di sekolah ini, dia terlihat lebih bersinar di mataku. Yang mereka teriakkan adalah nama vokalis band sekolah yang terkenal karena suaranya yang nyaring ( nyaris merdu ), punya tampang menarik ( hampir ganteng ) dan paling kaya diantara personel lainnya. Semua gadis-gadis disini bahkan dari sekolah lain menyukainya, mulai dari kakak kelas, adik kelas, guru bahkan ibu-ibu yang notabene janda pun pada suka. "Ya ampun, itu anak bisa ganteng gitu maknya ngidam apa yak?" celetuk seorang perempuan setengah baya yang sebenernya ke sekolah tujuannya di undang sebagai wali dari salah seorang siswa di sini. "Kalo mas Dandi jadi pacarku. aku mau ngadain selametan di rumah" lagi-lagi terdengar celetukan di keramaian, kali ini datang dari seorang siswi kelas 10, tapi bukan dari sekolah ini. "Aaahh...aku bisa-bisa pingsan kalo terus-terusan kaya gini, Dandiiii...my darling" perasaan heranku semakin menjadi-jadi mendengar celetukan terakhir ini datang dari seorang siswa yang terkenal sebagai 'cowok jadi-jadian' di sekolah ini. Teman sebangku bahkan sangat menggilai Dandi melebihi artis papan atas di negeri ini. "Danddiiii...!!" teriakan itu terus menyeruak hingga terdengar sampai radius 3 km dari sekolah. Kenapa tidak seorang pun dari mereka yang melihat keistimewaan dari seorang Niel ( drummer dari grup band sekolah yang di ketuai Dandi ).

Meski pada kenyataannya, waktuku selalu salah saat aku hanya ingin melihat Niel. Dia selalu bersama seorang gadis cantik, gadis ini bukan primadona sekolah, bukan juga anak artis atau pejabat. Lebih tepatnya dia bertetangga dengan Niel. Namanya Dyan, dan hanya dia yang selalu ada di dekat Niel setiap hari. Mereka pacaran atau tidak, aku tak pernah tahu itu. Sampai suatu saat aku berkenalan dengan Dyan, "Makasih banget ya? Kalo gak ada kamu mungkin aku gak tau lagi deh..." ujar Dyan sambil menggandeng tanganku. Satu jam sebelumnya, sepulang sekolah aku melihat Dyan kebingungan melihat rantai sepedanya lepas, dia tidak biasa dan tidak tahu bagaimana caranya membenarkan rantai sepeda yang lepas. Tanpa pikir panjang aku membantunya membenarkan rantai sepedanya sampai benar-benar bisa digunakan lagi. Aku sendiri hanya tersenyum mendengar ucapan terima kasih dari gadis yang selama satu tahun membuatku cemburu atas kedekatannya dengan Niel. Tak berapa lama Niel tiba-tiba muncul dengan sepeda gunungnya "Dii..kamu kok belum nyampe rumah juga?" sapa Niel pada Dyan, membuat jantungku berdegup tidak karuan. Aku salah tingkah dan tanpa pikir panjang langsung pergi secepat mungkin dengan mengayuh sepedaku lebih kencang. Aku bahkan tidak sempat berkata apa-apa pada mereka, entah apa yang mereka pikirkan pun aku tak peduli. 

Paru-paruku seakan menyempit mengingat kejadian siang kemarin, Niel terlihat sangat peduli dan khawatir dengan keadaan Dyan. Pagi ini aku datang ke sekolah lebih pagi dari sebelumnya, karena harus piket kelas, semakin siang banyak anak yang mulai berdatangan. Selesai piket aku berencana mengembalikan kain pel ke petugas kebersihan di sebelah gudang, karena kain pelnya masih basah aku berhati-hati agar tak sampai mengenai seragamku. Dan tragedi itu terjadi, Dandi yang berjalan paling depan dengan teman-teman sekelompok bandnya termasuk Niel yang berjalan paling belakang. Dandi keasyikan bercanda sambil loncat-loncat dan berjalan mundur, tiba-tiba muncul dari tikungan. Karena terkejut, aku terjatuh karena terjegal kaki kiri Dandi dan kain pel yang ku pegang terlempar cukup sempurna dan mendarat tepat di atas kepala Dandi. Aku panik, bingung karena semua orang menertawakan kami, Dandi terlihat kesal. Dia bahkan tidak ingin memegang kain pel itu. Aku langsung berdiri dan mengambil kain itu dari kepala Dandi, dia telihat marah, aku berusaha minta maaf setulus mungkin. Anak-anak perempuan yang saat itu melihat langsung memberondongiku dengan cibiran halus yang cukup menusuk di telinga "Pinter banget cari perhatian Dandi" . "Lumayan berani juga kamu ya?" . Aku bergegas pergi, sempat ku lihat Niel juga menangkap wajahku yang kebingungan. 

Semenjak kejadian itu, aku jadi korban cibiran gadis-gadis seantero sekolah. Bukan hal yang tidak mungkin, karena aku masih termasuk anak baru di sekolah ini. Aku tidak cukup punya banyak teman dekat selain teman sebangku ku yang cukup friendly sama siapa saja. Bahkan meskipun dia sangat mengidolakan Dandi, dia tidak ikut-ikutan marah padaku atas insiden 'Kain pel' itu. Aku cukup lega karena masih ada Bulan ( teman sebangkuku ) yang menenangkan aku saat semua orang membuliku. "Maaf bu, saya izin ke belakang" pintaku pada guru matematika yang saat itu mengajar di kelasku. "Silakan, Za" mendengar jawaban itu aku langsung bergegas ke kamar mandi untuk buang air kecil. Meski masih bisa aku tahan, tapi aku tidak mau menanggung resiko harus operasi lagi karena penyakit kencing batu yang pernah ku alami dulu. Belum selesai buang air kecil, ternyata bel pulang sudah berbunyi. Dari dalam toilet, terdengar suara langkah kaki masuk dan berdiri di depan cermin besar di depan toilet.
"Lan, kamu kok keliatannya masih baik-baik aja sama Uza?" tanya seorang teman pada Bulan, 
"Maksud kamu apa? Gak tau ya, aku tuh kasian aja ngeliat dia jadi di bully gitu" jawab Bulan tenang,  
"Bukannya kamu tuh suka banget sama Dandi? masak kamu gak marah Dandi di lecehin gitu di depan anak-anak?" 
"Siapa bilang aku gak marah? Rasanya tuh pengen banget ngacak-ngacak mukanya biar gak nampang lagi di depan Dandi, semua cewek yang suka sama Dandi pasti ngerasain hal yang sama. Siapa dia? berani-beraninya ngerendahin Dandi kaya gitu, anak baru aja belagunya kampungan banget" itu celetukan suara Bulan yang paling menyakitkan, selama ini Bulan hanya berpura-pura baik karena kasihan padaku. Mendengar itu, perasaanku sedih bukan main. Tidak ada seorang pun yang bisa aku percaya sekarang, aku menangis sejadi-jadinya di dalam toilet. Bulan dan temannya terkejut mendengar suara tangisanku, dan mereka menemukanku duduk di atas kloset sambil menangis. Saat itu ku harap Bulan akan mengatakan sesuatu dan meminta maaf karena telah berbohong. Tapi dia malah kebingungan dan pergi begitu saja dengan temannya. 

Aku kembali ke kelas dengan perasaan hancur, mataku masih mengeluarkan air mata. Sekolah sudah sangat sepi, tapi masih terdengar sayup-sayup suara anak-anak yang sedang latian ekskul di lapangan dan ruang musik. "Seberapa hebatnya Dandi sampai semua orang memujanya? Apa yang sudah dia berikan pada mereka, sampai mereka semua menganggapnya Tuhan. Aku harap, ketenarannya tidak berlangsung lama. Siapa dia sebenarnya? Kenapa semua orang membuliku hanya karena salah paham? Aku benci Dandi, Dandi nyebeliiiinnn...nyebeliiinnn...". Semua kemarahanku, ku tuangkan dalam selembar kertas kosong di atas meja. Setelah menulis itu, rasa sedihku muncul lagi. Aku marah dan tidak sanggup berbuat apa-apa kecuali hanya menangis dan menaruh kepalaku di atas meja. Aku menangis sekeras-kerasnya karena ku pikir tak akan ada yang mendengar. Seseorang tiba-tiba mengetuk mejaku 3x, aku terdiam sejenak. Aku tidak terbiasa menangis sampai kelihatan orang, apalagi orang banyak. Dan benar saja, Dandi sudah berdiri di depanku dengan senyumnya yang menyebalkan. Aku mencari-cari kertas yang ternyata sudah ada di tangan Dandi. "Di sekolah ini, semua cewek ngejar-ngejar gue, mereka memuja gue, dan gak ada seorang pun yang benci sama gue, kecuali loe" ujarnya sambil menunjuk ke arahku. Aku masih sesenggukan, dia langsung mengambil tasku dan menarik lenganku pergi dari kelas. Aku memberontak, tapi tangan Dandi lebih kuat mencengkram lenganku. Dia membawaku ke ruang musik, aku benar-benar malu karena semua orang termasuk Niel melihat ke arah kami. Dandi masih memegang tanganku dan tak mau di lepas. "Guys... gue mau ngasih tau sesuatu sama kalian, di sekolah ini ternyata ada manusia langka. Dia satu-satunya cewek yang benci sama gue, dia satu-satunya cewek yang gak suka sama sekali dengan adanya gue disini dan mulai sekarang, detik ini juga... cewek ini adalah pacar gue" oh my God, Dandi bahkan tidak lagi memegang lenganku tapi tanganku dan pegangannya lebih kuat. Dia bahkan tersenyum nakal, saat aku hanya bisa tertegun mendengar ucapannya. Aku melihat ke arah Niel, dia ikut tersenyum bahagia mendengar ucapan gila dari Dandi. Ini akan menjadi bencana yang lebih besar dalam hidupku. 

Aku yang kolot, tidak punya penampilan menarik, tidak cantik dan tidak pintar. Aku yakin ini hanya sekedar permainan Dandi untuk mempermalukanku di depan semua orang.Celetukan-celetukan mereka jauh lebih panas dari sebelumnya, mereka menganggap aku munafik dan pandai mencari perhatian Dandi. Mereka bahkan yakin Dandi hanya kasian padaku, tidak benar-benar suka padaku. Perasaanku semakin tidak karuan ketika sering melihat Niel dan Dyan selalu bersama di perpustakaan, kantin, main basket, bahkan foto bersama. Bulan bahkan semakin membenciku dan mengatakan aku gadis paling munafik di sekolah ini. 

Tuhan selalu memberikan hikmah disetiap kesulitan yang di alami hambanya. Pacaran dengan Dandi membuatku semakin bisa melihat dari dekat sosok Niel yang aku sukai selama ini. Ternyata Niel dan Dyan memang sangat dekat, Dyan sangat menyukai Niel meskipun Niel hanya menganggapnya sebagai teman. Niel tidak pernah ingin pacaran dengan siapa pun di sekolah, dia ingin fokus belajar dan nge-band. Dia hanya ingin menyukai satu perempuan yang menerima dirinya yang selama ini dianggap paling miskin di antara personel yang lain. Mungkin karena Niel benar-benar berpenampilan apa adanya dan tidak suka menunjukkan diri. Aku sendiri tiba-tiba mulai suka menceritakan keluh kesahku selama menjalani hubungan dengan Dandi pada Dyan. Dyan mau mendengarkanku dan kadang sering berdecak kagum, dengan sikap sok romantis yang di tunjukkan Dandi padaku. 

"Dan... kamu tuh bener-bener ngerasa paling ganteng ya?" tanyaku suatu ketika malam saat makan malam dengan Dandi
"Gak, kenapa gue mesti ngerasa ganteng kalo emang gue udah ganteng?" jawaban yang sangat menyebalkan itu dia lontarkan dengan santai sambil menyantap makanannya
"Kamu tuh aneh ya? apa sih yang kamu suka dari aku? Sedang kan di luar sana banyak cewek-cewek cantik yang ngantri buat jadi pacar kamu?" aku masih tidak ingin menyantap makanan yang sedari tadi sudah siap di depanku
"Good question, dan jawaban gue adalah karena loe setulus hati benci sama gue" Dandi mulai menghentikan makannya dengan minum seteguk jus Mangga kesukaannya
"Cuma itu?" tanyaku semakin heran, dan Dandi dengan tegas hanya mengangguk mantap dengan jawabannya
"Oya, besok hari ulang tahun loe kan? Loe pengen hadiah apa?" kali ini Dandi membuatku terkejut lagi, darimana dia tau tanggal lahirku? Aku bahkan hampir lupa besok ulang tahunku. Dalam hati, aku hanya ingin sesuatu yang berbeda di ulang tahunku yang ke 17 ini. Aku cuma mau Niel. 

Pagi yang cerah menyambut hari kelahiranku yang indah, rasanya aneh. Pertama kali menginjakkan kaki di sekolah pagi itu, mulai dari satpam tukang kebun, sopir kepala sekolah, semua cewek-cewek yang tadinya cuek sama aku dan cowok-cowok seantero sekolah bahkan guru semua menyapaku dengan senyuman mereka. Aku heran bukan main, bahkan aku mencoba mencubit pipiku dan ini bukan mimpi. Bulan mencoba menyapaku juga, tapi dari ekspresinya masih terlihat senyum tidak ikhlas dari wajahnya. Yang lebih mengejutkan adalah saat Niel menghampiriku ke kelas dan memberiku sepucuk mawar 'pink'. "Selamat Ulang Tahun Za" perasaanku senang dan sangat senang saat itu, dia tersenyum. Aku langsung membaca pesan yang gantungkan di bunga itu. "Dear Uza... Happy Birthday, keep smile and be a strong girl. Dandi" what?? ya Tuhan... bunga ini dari Dandi bukan Niel.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar