Bu, sampai saat ini aku tak pernah
bisa melihatmu meskipun aku ingin dan rasa sakit itu selalu menjadi sengatan
terhebat yang pernah aku rasakan selama hidupku. Bu, aku tahu ini akan sangat
sulit untukmu. Tapi perasaan ini mengalahkan segalanya, aku marah dan benci
pada wanita yang melahirkan dan membesarkanku selama 25 tahun.
Mimpi
buruk itu tiba-tiba terulang kembali dalam ingatanku, dimana ayah tiriku datang
dalam keadaan mabuk berat dan mencoba membunuhku saat ibu tak ada di rumah dan
rumah dalam keadaan sepi. Aku yang saat itu sedang membereskan kamarku,
benar-benar ketakutan karena untuk pertama kalinya berhadapan dengan pria tua
yang membawa pisau dan berusaha menghujamkannya ke tubuhku. Meski rasa takutku
semakin menjadi, aku berusaha sekuat tenaga agar pria mabuk itu menghentikan
keinginannya menusukku. Aku berteriak minta tolong beberapa kali dan tak
seorang pun datang, mata tajam pria tua itu semakin membuatku takut dan
menangis. Dia terus bergumam “Dasar gadis bodoh, gak berguna! Mati aja sana “.
Ku pikir pria ini memang sudah gila, kenapa dia terlihat sangat membenciku saat
itu. Ibu yang tiba-tiba datang sempat mencoba menghentikan perbuatan ayah
tiriku, dan hasilnya ibuku mendapat pukulan keras tangan kekar pria tua itu. Ibu
bergegas mengubungi polisi, dan saat polisi datang aku sudah berhasil
melumpuhkan ayah tiriku. Dengan posisi tanganku yang bersimbah darah dan pisau
hasil rebutanku dengan pria kejam ini. Pria tua kejam itu sudah terkapar tak
bernyawa dengan darah di bagian dadanya yang terus mengalir. Aku bingung, takut
dan gemetar hebat, aku tak pernah ingin membunuh siapa pun, bu.
Inilah
kisahku, kisah pahit seorang perempuan menyedihkan yang hidup di antara
keluarga yang menyedihkan juga. Sejak 3 tahun lalu, aku harus menghadapi kejamnya
hidup di balik jeruji penjara wanita. Aku masih sangat trauma dan takut saat
pertama kali masuk ke dalam ruangan pengap yang penuh dengan bau tidak sedap.
Ibuku lah yang berhasil memaksaku menikmati hari-hari kelam di penjara. Aku
mencintainya, dulu. Dan aku sangat membencinya, sekarang.
“
Arlina… keluarlah! Ibumu datang menjengukmu “ ujar salah seorang polisi wanita
yang berjaga saat itu, sambil membuka gembok jeruji. Aku terdiam, “ Aku gak
mau! “ jawabku tegas, sebelumnya aku sudah sering mengatakan pada setiap polisi
wanita yang berjaga, bahwa aku tidak akan menemui siapa pun yang datang
menjengukku, terutama ibu. Saat itu
aku benar-benar sangat marah dan tidak kuasa melampiaskan amarahku pada siapa
pun, termasuk polisi wanita bernama Gita yang tidak lain adalah sahabatku sejak
SD ini.
Ibu
selalu datang dengan sebuah kotak makanan yang selalu dia siapkan setiap kali
datang menjengukku. “Bu, jangan semakin
membuat mataku kering. Air mataku sudah habis terkuras hanya untukmu, tidak
bisakah ibu membiarkan aku bahagia meskipun di dalam penjara. Jangan pernah
datang lagi, anggap saja anakmu sudah mati. Aku tak ingin kebencianku semakin
memuncak saat melihat ibu datang dan pulang dengan perasaan kecewa. Aku tak
pernah tahu, sampai kapan aku akan seperti ini…”
Hari
dimana untuk yang kesekian kalinya sidang kasusku, ibu datang sebagai saksi dan
mengatakan akan melakukan apa pun untuk membebaskanku dari penjara. Gita juga
berkata, bahwa dia sering melihat ibuku berjualan makanan di dekat kantor polisi.
Gita selalu memperhatikan apa pun yang ibuku lakukan, sampai aku benar-benar
tak akan melihatnya lagi. Gita menemukan ibuku terkapar tak bernyawa di depan
kantor polisi saat hujan deras melanda. Lengkap dengan bekal yang biasa ibu
bawa untukku dan sepucuk surat dari ibu yang mengatakan bahwa “…Gunakan waktumu sebaik mungkin untuk
berbuat baik selama di penjara, nak! Ibu berjanji akan segera mengeluarkanmu,
ibu tidak tahan jauh dari putri ibu satu-satunya. Untuk terakhir kalinya ibu
minta maaf, nak! Maafkan ibu…”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar