Kisah tentang aku, aku
adalah Zahwa. Zahwa yang gokil, Zahwa yang cerewet, Zahwa yang tomboy, Zahwa
yang murah senyum, Zahwa yang aneh dan berbagai aksi sebutan untukku, itulah
aku. Ibuku bilang, aku tak cantik, aku bahkan terlalu kurus untuk ukuran gadis
20 tahun ke atas. Ayahku bilang, aku tak cerdas, aku bahkan tak mampu melihat
mata pelajaran angka seumur hidupku. Aku Zahwa yang fobia dengan matematika,
Zahwa yang sangat cinta dengan kedamaian, suka menyendiri dan hidup apa adanya,
aku Zahwa yang di bodohi oleh cinta pertamaku dengan penantian panjang 8 tahun
yang tak pasti hingga kini. Dan kisah ini juga tentang orang-orang di
sekitarku, tentang adik perempuanku yang bagai bidadari surga, punya segalanya
yang laki-laki inginkan, cantik, cerdas, dewasa dan stylenya yang selalu apa
adanya laksana muslimah sempurna. Tentang sahabat-sahabatku dan cinta mereka,
aku hanya bagian dari segelintir penyambung kisah mereka.
Untuk melupakan masa lalu
dengan cinta pertamaku yang
tak berujung hingga kini, aku mencoba membuka hati
untuk siapapun yang kian tulus memberikan hatinya untukku. Namun, dari sekian
banyak hati yang datang mereka justru tak mampu berpaling dari sosok Zahra (
adikku ). Saat itulah aku mulai sadar, bahwa tak akan ada seorang pun yang
datang untukku. Zahwa yang sendiri dan entah sampai kapan akan tetap sendiri.
Dua puluh satu tahun bukan
usia muda untuk tidak punya pasangan, tapi inilah yang terjadi padaku. Aku
selalu bermimpi menjadi psikolog muda yang bisa membantu orang lain dan belajar
tentang hidup dari masalah-masalah yang mereka alami. Namun, di sisi lain aku
bukan hanya sebuah tempat sampah untuk masalah yang mereka hadapi, aku juga
gadis biasa yang membutuhkan perhatian lebih untuk setiap masalah yang ku
hadapi. Aku dan Tuhan, tapi aku juga butuh seseorang untuk mencurahkan setiap
keluh kesahku.
Setahun yang lalu aku
menjalin hubungan dengan seorang laki-laki baik, dia seorang ustad yang pada
hakikatnya seiman dan sempurna dalam sisi agama. Tapi aku tak pernah merasa
sangat nyaman saat bersamanya, yang ku rasakan hanya takut dan kadang perasaan
kesal selalu menghiasi pertemuan kami. Ku pikir, kenapa aku mudah sekali naik
darah setiap bicara atau adu argumentasi dengannya. Dan
ternyata, terjawablah pertanyaan yang terselip dalam otakku selana setahun ini.
Dia bukan tipe orang yang mau mendengarkan, tapi selalu ingin di dengar. Dia
bahkan terlalu banyak bertanya untuk hal-hal yang ku anggap tak perlu di
tanyakan, dia belum bisa memahami perasaan seorang perempuan, bahkan jika aku
marah dia akan marah. Aku sempat frustasi menghadapinya, sedang banyak dari
orang di sekitarku yang selalu menceritakan masalah mereka padaku. Aku selalu
berusaha professional untuk hal ini, bagaimana pun mood ku, solusi terbaik ku
usahakan untuk mereka yang membutuhkan.
Saat ini, aku benar-benar
di rundung kegalauan yang amat sangat ketika aku memutuskan untuk pisah
dengannya. Karena ku pikir, tak ada laki-laki lain yang setulus dia dan dia
bahkan terbiasa saat melihat Zahra, dia satu-satunya laki-laki yang tak tergoda
oleh kecantikan Zahra. Namun, aku sendiri tak tahan dengan sikapnya yang lebih
suka dengan dunianya sendiri. Cukup sudah, ku tutup hatiku untuk saat ini dan
aku tak akan menaruh hati pada siapapun. Aku terdiam tanpa kata sekarang, yang
bisa ku lakukan hanya senang melihat mereka yang terlihat bahagia atas cinta
yang mereka dapatkan.
Walaupun banyaknya pujangga
Turki yang mendekati Zahra, dia tak akan tergoda hanya dengan kata-kata. Dia
bahkan tak akan mudah menyerahkan hatinya pada siapapun, karena sudah lebih
dari 3 kali hatinya tersakiti. Dan kali ini, sahabatku Ahmad. Dia mengungkapkan
isi hatinya padaku setelah melihat Zahra untuk yang pertama kalinya, ku pikir
itu wajar karena setiap laki-laki pasti akan merasakan hal yang sama saat
melihat Zahra. Namun, Ahmad bersikukuh bahwa perasaannya itu tak sebanding
hanya dengan hanya melihat kecantikan Zahra semata, dia merasakan sesuatu yang
lain dan dia bilang sebelumnya tak pernah ada perasaan itu pada gadis-gadis yang
pernah mengisi hatinya.
Awalnya aku hanya melihat
Ahmad sekilas dari wujudnya yang tak sebanding dengan Zahra, tapi setelah
beberapa lama ku perhatikan. Dia memang layak mendapatkan Zahra dan Zahra pasti
membutuhkan seseorang seperti Ahmad yang mampu memberinya perhatian lebih dan
semangatnya dalam melantunkan dan menghafal kalamullah karena Ahmad juga
seorang hafidz. Saat itulah aku yakin Ahmad akan memberikan yang terbaik untuk
Zahra dank u putuskan untuk membantu Ahmad. Cukup sulit memang mempersatukan
dua insan yang hanya berat sebelah, Ahmad yang sejak awal sudah jatuh hati pada
Zahra sedangkan Zahra mengatakan pada Ahmad bahwa dia tak ingin menjalin
hubungan lagi karena dia tak ingin sakit untuk yang kesekian kalinya. Namun,
penolakan Zahra berujung manis untuk Ahmad. Karena mereka justru semakin akrab
dan Zahra mulai bisa memahami Ahmad sepenuhnya.
Cukup tenang hati ini bisa
memberikan yang terbaik untuk mereka yang ku sayangi, walau berat aku mencoba
untuk tetap ada pada diriku yang sekarang. Selanjutnya tentang Icha, sahabat
karibku. Kisahnya hampir sama dengan Zahra, Icha tak ingin menjalin hubungan
dengan siapapun karena dia tak ingin merasakan sakit hati lagi dan tak ingin
menyakiti, tapi Rosyad seorang laki-laki yang sejak awal mengenal Icha sudah
sangat menyukai pribadi Icha yang nota bene adalah perempuan kuat di mata
Rosyad. Sejak awal pula Icha sudah merasakan gelagat tidak enak di balik sikap
Rosyad, terlebih sahabat dekat Rosyad ( Haris ) terlebih dulu menyatakan
perasaannya pada Icha. Menghindar, itulah yang biasa dilakukan Icha saat
seorang ikhwan membawanya dalam masalah percintaan yang menurutnya begitu
rumit. Namun, entah kenapa dia justru dia tak bisa menghindar dari Rosyad.
Hingga akhirnya Rosyad menyatakan apa yang dia rasakan pada Icha, Icha bingung
dengan gelagat salah tingkah dan otaknya terus berpikir beras untuk menghindari
Rosyad tanpa harus menyakitinya. Kebingungan Icha tak cukup sampai di situ, dia
tambah di buat marah oleh sikap rekan-rekannya yang terkesan memojokkannya.
Icha sangat tidak suka dengan sikap rekan-rrekannya itu, menunjukkan sikap
marah pun percuma karena mereka akan tetap tertawa lepas melihat wajah lucu
Icha ketika marah.
Setiap hari dan tanpa
henti, dimana-mana sudah tersebar berita tentang kedekatan Icha dengan Rosyad,
Icha benar-benar di rundung kebingungan yang tidak terkira. Icha terus bertanya
padaku harus bagaimana dan berbuat apa. Dalam keadaan batinku yang tertekan,
aku berusaha tetap menanggapi cerita hati Icha. Karena aku tahu, Icha pasti
juga sangat menderita dengan perasaannya yang tidak karu-karuan itu. Dia ingin
teriak, menangis dan mengatakan pada Rosyad untuk pergi dari kehidupannya. Tapi
dia tak ingin melakukannya karena itu hanya akan menyakiti perasaan Rosyad yang
terlalu transparan. Hingga akhirnya, tanpa sadar Icha mengucapkan kata-kata yang
seharusnya tak dia ucapkan. Dia sebenarnya tak pernah ingin mengatakan, “
Rosyad, gimana kalo kita pacaran aja?” ucapan Icha tersebut menjadi tajuk
boomerang terhebat dalam hati Rosyad. “ Kamu serius? “ pertanyaan Rosyad tanpa
nafas yang dia tahan untuk meyakinkan hatinya atas ucapan Icha. Icha masih
belum yakin dengan ucapannya, dia takut akan merasakan yang namanya menyayangi
Rosyad hingga sakit hati karena Rosyad.
Setelah berbagai nasehat
yang ku coba untuk Icha dan Rosyad, akhirnya Icha mencoba meyakinkan Rosyad,
bahwa apa yang dia ucapkan adalah benar meskipun sedikit terpaksa saat pertama
kali mengucapkannya. Disinilah kisah mereka di mulai, kisah yang tak ada lagi
kata sembunyi dari hidup dan kehidupan, kisah yang sebenarnya namun masih
terkesan menerawang. Sayang, Icha dan Rosyad belum berani mengatakan tentang
hubungan mereka pada rekan-rekan sejawat mereka yang sebenarnya sudah sangat
menanti saat-saat hubungan mereka berlanjut. Hanya aku, Ahmad dan Zahra yang
tahu tentang hal ini.
Sekarang aku bisa melihat,
betapa bahagianya mereka. Mereka sudah mendapatkan apa yang mereka inginkan,
dan ku rasa sekarang waktuku untuk menjauh dan menyelesaikan perasaanku
sendiri. Tak ada yang aku ajak bicara saat ini, aku tertekuk dalam lingkaran
hitam kekecewaan, sakit hati dan kerinduan padanya. Ulu hatiku terasa menjerat
seluruh tubuh, menekan darah pada setiap denyut nadi. Aku menangis sendiri,
“Allah..Allah..Allah..!! “ nama yang selalu ku ingat sampai saat ini. “
Ayah..Ibu..jika rasa sakit ini tak pernah hilang dari tubuhku, bagaimana aku
mampu membahagiakan kalian? Sedang sampai saat ini, hanya kecewa yang ku bawa
pada kalian, aku tak lebih baik dari Zahra dalam segi apapun. Yang ku yakini
hanya 1 tentang rasa sayang dan hormatku pada kalian yang melebihi apapun.
Maafkan Zahwa yang nista ini, biarkan Zahwa yang akan menanggung beban ini
sendiri “ air mataku berderai deras mengalun dalam tangisku menahan tekanan
batin yang mengoyak setiap saraf dalam tubuh ini.
Zahra, aku adalah adik
kandung dari kakakku, Zahwa. Kakakku yang selalu kuat menghadapi hidupnya,
kakakku yang selalu memberikan nasehat penting dalam hidup, kakakku yang kadang
masih suka bersikap kekanak-kanakan, kakakku yang emosional tapi senyumnya
selalu ada untuk rekan-rekannya. Kini, semua itu hanya tinggal bayangan. Dia
harus pergi untuk selama-lamanya. Hatiku perih membaca setiap tulisan yang dia
uraikan, tentang keluh kesahnya, bahagianya dan kekecewaannya. Bagaimana
mungkin aku tak menyadari apa yang terjadi pada kakakku sendiri, ataukah
mungkin hanya karena aku memandang dia rendah? Aku selalu menganggapnya tak
jauh lebih baik dariku, aku punya segalanya yang di inginkan setiap orang.
Kenapa aku selalu mengatakan kekurangannya yang jelas-jelas bisa membuat dia
malu, tapi dia tak merasa malu sedikit pun.
Seminggu sebelum kakak
kembali ke rahmatullah, aku melihatnya menangis sendiri tanpa kawan. Dia
terlihat sedih dan tangisnya tertahan di tenggorokan, aku tak tahu apa yang
terjadi padanya. Aku bahkan tak sanggup berbuat apa-apa, karena aku memilih
sibuk sendiri dengan tugasku. Hingga aku tahu, saat itu kakak sedang menahan
rasa sakit di ulu hatinya. Dia tak ingin ada yang tahu, termasuk ayah dan ibu. Bodohnya
aku saat itu yang tak peduli dengan keadaannya, bagaimana mungkin dia menahan
rasa sakit itu sendirian? Sampai pada saat tiga hari sebelum dia pergi, aku
sempat bertengkar dengannya hanya karena kesalahan kecil yang seharusnya tak di
perdebatkan. Waktu itu, dia benar-benar terlihat marah padaku karena kata-kata
merendahkannya yang ku ucapkan dengan lantang di hadapannya.
Bagaimana aku bisa
mengungkapkan setiap titik kesalahan yang pernah ku perbuat padanya? Egoku dan
kesombonganku selalu ada untuknya, kenapa aku tak pernah bisa membantunya untuk
cinta pertamanya yang tak pernah sampai hingga dia kembali menjadi tanah? Aku
hanya bisa menangisi kepergiannya, aku tak mampu berbuat banyak saat jasadnya
terkubur dalam liang lahat yang begitu gelap. “ Ya Allah…hambaMu yang dhoif ini
memohon, berikanlah cahaya dalam kuburnya, maafkanlah segala dosa-dosanya!” aku
tak kuasa menahan sakit ini, terlebih ibu yang jatuh bangun mengantar kepergian
putri sulungnya.
Di barisan pelayat yang
datang, aku melihat sosok Dika yang berdiri tertunduk. Raut wajahnya tak jauh
beda dengan ayah yang terlihat tegar menghadapi kepergian Zahwa. Melihat
perempuan yang selama 8 tahun menanti cintanya, walau akhirnya harus begini.
Zahwa membawa mati cintanya hingga liang lahat, Dika terlihat menyesal dan
merasa bersalah. “ Kenapa dia harus menungguku selama itu? Padahal dia tahu itu
sangat berat “ kata-kata penyesalan yang sempat di ucapkan Dika padaku. ” Kakak
jelas tahu itu sangat berat, tapi dia berusaha menghadapinya, karena dia tak
bisa mengusir perasaan itu dari hatinya! Andai kamu, aku dan semua orang –
orang terdekat kak Zahwa tahu tentang itu, aku yakin tak aka nada penyesalan
sedalam ini “ jawabku yang terus berderai air mata, “ Semua sudah berlalu,
biarlah kak Zahwa hidup tenang! Penyesalan tak pernah datang di awal sebuah
kisah…” kak Ahmad mencoba menenangkanku yang terus menyalahkan diriku sendiri.
Akhir dari perjalanan
panjang, hidup seorang Zahwa yang sangat mencintai hidupnya dengan berusaha
membuat orang lain bahagia. Zahwa yang tak pernah ingin seorang pun terluka
karenanya, Zahwa yang selalu tersenyum walau hatinya perih dan Zahwa yang
mencoba kuat menghadapi hidupnya tanpa menyusahkan orang lain.